MAKALAH
Makalah Ini Diajukan Sebagai Tugas Mata Mata Kuliyah Ulumul Hadits

Guru Pembimbing : Ali Muhtarom.
Kelompok/Koordinator :
Churiatul Isnaini (201186010032)
Chicha L.M (201186010035)
Hariyati (201186010064)
Lailatul Fitriyah (201186010064)
PROGRAM STUDI PENIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Tiada harapan sedikitpun dari kami kecuali makalah ini bias bermanfaat, member sumbangan positif kepada segenap pembaca,
Sejalan dengan itu semua, maka dengan dengan segala kemampuan kami usahakan berbagai cara membuat makalah ini agar mudah difahami dan diterima oleh pembaca. Dengan demikian para pembaca mungkin menjumpai hal-hal yang tidak berkenan di dalam hati. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan. Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Tidak ada gading yang tak retak, sehingga jika para pembaca menjumpai kesalahan-kesalahan dalam makalah ini, Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan dan teguran positif, yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga Allah meridlai usaha kami dan mencatatnya sebagai amal shaleh kami. Dan kepada para pembaca yang telah sudi member pembetulan dan teguran, sebelumnya kami ucapkan banyak terimah kasih, semoga Allah member pahala yang setimpal. Amien.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab([3]) yang sudah mempunyai kekuatan hokum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi denfan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.
B. RUMUSAN MASALAH
· Menjelaskan tentang pengertian nasikh-mansukh?
C. TUJUAN
· Untuk memahami pengertian nasikh-mansukh.
· Perbedaan nasikh dan takhsis.
· Jenis-jenis nasikh-mansukh.
· Hikmah nasikh-mansukh.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN NASIKH-MANSUKH
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan.
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan yang ada di antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hokum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian.
E. PERBEDAAN ANTARA NASAKH DAN TAKHSHIS
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahani[8] meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:
1. pengecualian hokum yang bersifat umum oleh hokum yang sefesifik yang datang kemudian.
2. Adanya penjelasn susulan terhadap hokum terdahulu yang ambigius.
3. Adanya penetapan syarat terhadap hokum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai nasakh, sedangkan al Ashfahani memandangnya sebagai takhshis. Tampaknya al Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hokum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai "mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad 'amm"
Bertolak dari pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
NASAKH | TAKHSHIS |
|
|
D. JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini ialah adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari'at Nabi Isa as. dengan syari'at hukum agama Yahudi yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian suatu pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/ negara lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional Republik Indonesia . Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hokum dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.
Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari'at, apakah didalam satu syari'at terjadi juga nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini.
1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram([14]). Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hokum kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat.
Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun([15]). Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari([16]). Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Isam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain. Hal seperti ini, jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan undang-undang atau peraturan lain.
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hokum dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi.
Demikian pula adanya nasikkh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi.
Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an dengan Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan masing-masing pihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki al-Qur'an dan Sunnah dalam syari'at itu sendiri.
Dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hokum lainnya yang lebih rendah tingkatannya.
Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi factor pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada syari'at.
E. HIKMAH ADANYA NASKH
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan,([22]) khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama.
Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya.
Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin al-Suyuthi, 1983. Al-Itqan. Jakarta : Erlangga
Ibn Katsir. 2006. Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim. Bandung : Sarana Pancakarya.
Abu Zahrah, Imam. 2006. Ushul al-Fiqh. Jakarta : Erlangga
Al-Thusi. 2002. Uddat al-Ushul. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hamadah, 'Abbas Mutawalli. 2001. Al-Sunnat al-Nabawiyyah. Bandung : Erlangga